Pages

Banner 468 x 60px

Jumat, 07 Desember 2012

0 komentar
Jual beli secara kredit



1.    Menurut saya hukum jual beli secara kredit adalah boleh.
Penjelasannya: jual beli secara kredit yaitu jual beli yang pembayarannya tertunda, bisa di bayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus, bisa di bayar dengan cicilan, yakni di bayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu, sesuai kesepakatan penjual dan pembeli. Jual beli secara kredit adalah salah satu bentuk dari jual beli nasi’ah. Syari’at yang suci membolehkan jual beli nasi’ah. Para ulama pun sepakat tentang di bolehkannya jual beli nasi’ah. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim serta para perawi lainnya.
ﺃﻥﺭﺳﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺍﺷﺗﺭﻯ ﻣﻥ ﻳﻬﻭﺩﻱ ﻃﻌﺎﻣ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻝﻭﺭﻫﻧﻪﺩﺭﻋﺎﻣﻥﺣﺩﻳﺩ
“bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari orang yahudi dengan pembayaran tertunda, beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan”. Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga di bolehkan jual beli secara kredit. Karena jual beli secara kredit tidak lain adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, hanya pembayarannya yang di cicil selama beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu.
Alasan di bolehkannya jual beli sacara kredit adalah: keumuman dalil yang menetapkan di bolehkannya jual beli semacam ini. Allah SWT berfirman :       
ﻳﺄﻳﻬﺎﺍﻟﺫﻳﻥﺀﺍﻣﻧﻭﺍﺇﺫ ﺍﺗﺩﺍﻳﻧﺗﻡﺑﺩﻳﻥﺇﻟﻰﺃﺟﻝﻣﺳﻣﻰﻓﺎﻛﺗﺑﻭﻩ...
hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah:282).
Ayat tersebut secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda, yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hukum menjual barang yang berada dalam kepemilikan namun dengan penyerahan tertunda, yakni jual beli as-salam. Karena dalam jual beli as-salam harga juga bisa di kurangi, karena penyerahan tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh di lebihkan harganya karena pembayaran yang tertunda. Namun apabila pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak di bolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun penjual berhak menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu termasuk dalam akad kreditnya.
penjelasan Majelis Ulama Tentang Hukum Jual Beli Kredit:
a)    Dibolehkan tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.
b)    Menurut ajaran syariat, ketika proses jual beli ini terjadi, tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada keterkaitan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan tertentu, atau tergantung dengan jumlah penambahan waktu saja.
c)    Kalau pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh memaksanya membayar tambahan lain dari jumlah hutangnya, dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk riba yang diharamkan.
d)    Orang yang berhutang adalah  mampu membayar, dia tidak boleh memperlambat pembayaran hutangnnya yang sudah tiba waktu cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi persyaratan adanya kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keterlambatan pembayaran.
e)    Menurut syariat seorang penjual dibolehkan meminta penyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
f)     Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli setelah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang  itu digadaikan ditempatnya sebagai jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya.


2.    Rafael dan Ryco melakukan syarikah al-inan, yaitu persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga di lakukan mereka bersama untuk kemudian keuntungan juga di bagi pula bersama. Syarikah ini di bolehkan berdasarkan ijma’.
Dalam kerjasama ini mereka harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut ini:
a.    Rukun pertama, dua transaktor.
Keduanya harus memiliki kelayakan (kompetensi), yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan
b.    Rukun kedua, objek transaksi.
Yang meliputi modal, usaha dan keuntungan.
            Pertama: modal, disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:
·         Harus diketahui jumlahnya.
·         Modal harus riil.
·         Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba.
Kedua: usaha
Adapun yang berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka.
Ketiga: keuntungan.
Keuntungan disyaratkan sebagai berikut:
·         Harus di ketahui jumlahnya
·         Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosentasi tertentu.
c.    Rukun ketiga:  pelafazhan akad (perjanjian)
Akad dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan.

Rafael dan Ryco menggunakan prinsip jual beli salam, yang berarti pembelian barang yang di serahkan di kemudian hari, sedangkan pembayarannya di lakukan di muka.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rsulullah SAW. Bersabda:
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻰ ﺷﻰ ﻔﻓﻲ ﻛﻳﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻥ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍﻟﻰ ﺍﺟﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
Supaya bisnis mereka sah menurut hukum islam, mereka harus memenuhi syarat
:
a)    Modal transaksi, syarat yang harus dipenuhi:
·         Modal harus diketahui.
Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya.
·         Penerimaan pembayaran.
Banyak ulama yang mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak.
b)    Al-muslam fiihi
Diantaranya:
·         Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
·         Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut.
·         Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari.
·         Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
·         Bolehnya menetukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
·         Tempat penyerahan.
Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang di sepakati dimana barang harus di serahkan.
·      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Tapi bila barang tersebut di ganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya.


Referensi:
Muhammad syafi’i antonio, Bank Islam Syari’ah, jakarta: Gema Insani, 2011.
Shalah ash-Shawi & Abdullah al-mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, jakarta: Darul Haq, 2004.


Read more...
0 komentar

RAHN (GADAI)


      Yuliana 1179648


Salah satu cara untuk mempercepat pinjam meminjam adalah dengan memberikan suatu jaminan. Dengan adanya jaminan tersebut si pemberi pinjaman tidak takut karena keingkaran si peminjam. Apabila si peminjam ingkar maka jaminan tersebut menjadi alat pelunasan utang.
Rahn adalah akad gadai, dimana suatu pihak menyerahkan barang tertentu miliknya kepada pihak lain, dalam rangka memperoleh pinjaman uang yang diperlukannya.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirat.
Para ulama sepakat bahwa Rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah :      ﻓﺭﻫﺎﻥ ﻣﻗﺑﻭﺿﺔ
pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan:    
ﻓﺎﻥﺃﻣﻥ ﺑﻌﺿﻛﻡ ﺑﻌﺿﺎﻓﻟﻳﺅﺩﺍﻟﺫﻯﺍﺅﺗﻣﻥﺃﻣﺎﻧﺗﻪ ...      ﺍﻟﺑﻗﺭﺓ  :٢٨٣
Artinya:
“akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya)”.
(QS. Al-Baqarah : 283)
Selain itu, perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal hukum utang sendiri tidaklah wajib, begitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.


A.     Definisi Rahn

Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.secara sederhana rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Rahn adalah akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna.
Rahn adalah menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembaliakan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
Rahn adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dalam pemberi amanah.
Rahn  berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.


Definisi Rahn menurut Ulama Fiqih:
v  Menurut ulama Syafi’iyah:
Rahn adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.
v  Menurut ulama hanabilah:
Rahn adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.

Jumhur ulama sepakat bahwa definisi Rahn adalah menjadikan nilai jaminan sebagai ganti hutang tatkala tidak bisa melunasinya.
Menurut saya, Rahn adalah akad utang piutang dengan menyerahkan barang berharga sebagai jaminan atas peminjaman uang.


B.     Dasar Hukum Rahn
Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Quran dan sunah.
Ø  Al-Quran
ﻭﺍﻥﻛﻧﺗﻡﻋﻟﻰﺳﻓﺭﻭﻟﻡ ﺗﺟﺩﻭﺍﻛﺍﺗﺑﺍﻓﺭﻫﺍﻥﻣﻗﺑﻭﺿﺔ
Artinya :
“apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah: 283).

Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai meyakini bahwa pemberi gadai beriktikad baik untuk mengembalikan pinjamannya dengan cara menggadaikan barang atau benda yang di milikinya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.

Ø   As-sunah

ﻋﻥﻋﺍﺋﺷﺔﺯﺿﻲﷲﻋﻧﻬﺍﺃﻥﺍﻟﻧﺑﻲﺻﻟﻰﷲﻋﻟﻳﻪﻭﺴﻟﻡﺍﺷﺗﺭﻯﻃﻌﺍﻣﺍﻣﻥﻳﻬﻭﺩﻱﺇﻟﻰﺃﺟﻝﻭﺭﻫﻧﻪﺩﺭﻋﺍﻣﻥﺣﺩﻳﺩ 
“Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membeli bahan makanan dari seorang yahudi dan beliau menggadaikan baju perang dari besi”. (HR Bukhari – Muslim).
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa diperbolehkannya gadai berdasarkan ketetapan di dalam Al-Kitab. Juga dapat dipahami bahwa agama islam tidak membedakan antara orang muslim dan non muslim dalam bidang muamalah.

C.     Rukun  Rahn:
Rahn memiliki empat unsur, yaitu Rahin (orang yang memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan) dan al-marhun nuh (utang).
Menurut ulama Hanafiyah rukun Rahn adalah ijab dan qabul dari rahin dan al-murtahin, sebagaimana pada akad yang lain. Akan tetapi, akad dalam Rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, rukun Rahn adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun dan marhun bih.
                        Jadi rukun Rahn yaitu:
a)      Pihak yang menggadaikan (Rahin)
b)      Pihak yang menerima gadai (Murtahin)
c)      Barang yang digadaikan (Marhun)
d)      Hutang/Pinjaman (Marhun Bih)
e)      Sighot (Ijab-Qabul)

D.     Syarat-syarat Rahn:
Dalam Rahn disyaratkan beberapa syarat berikut:


a.       Persyaratan Aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz.

b.      Syarat Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam Rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.
Menurut para ulama syarat-syarat Rahn, yaitu:
Ø  Syarat Rahn menurut Ulama Syafi’iyah, ada tiga:
a.       Syarat sahih, mensyaratkan agar murtahin cpat membayar sehingga jaminan tidak disita.
b.      Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
c.       Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.

Ø  Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat Rahn terbagi dua, yaitu:
1.      Rahn fasid adalah Rahn yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada tanggung jawab rahin.
2.      Rahn sahin adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.

c.       Syarat Marhun Bih (utang)
Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat Marhun Bih, yaitu:
Ø    Marhun bih hendaklah barang yang wajib         diserahkan.
Ø    Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan.
Ø    Hak atas marhun bih harus jelas.

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih:
1)      Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
2)      Utang harus lazim pada waktu akad.
3)      Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

d.      syarat marhun
ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
1)      dapat diperjual belikan.
2)      Bermanfaat.
3)      Jelas.
4)      Milik rahin.
5)      Bisa diserahkan.
6)      Tidak bersatu dengan harta lain.
7)      Dipegang (dikuasai) oleh rahin.
8)      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

e.      Syarat kesempurnaan rahn (Memegang Barang)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa memegang marhun adalah syarat kesempurnaan, tetapi bukan syarat sah atau lazim. Menurut ulama Malikiyah, akad dipandang lazim dengan adanya ijab dan qabul. Akan tetapi, murtahin harus meminta kepada rahin barang  yang digadaikan, jika tidak memintanya atau merelakan borg di tangan rahin, rahn menjadi batal.



f.       Beberapa Hal yang Berkaitan dengan Syarat Rahn
Beberapa hal yang berkaitan dengan syarat rahn, antara lain berikut:
ü  Borg harus utuh
Ulama Hanafiya berpendapat bahwa borg harus utuh tidak boleh bercerai-berai. Diantar alasannya, adalah rahn harus tetap berada di tangan orang yang telah memberikan utang dan hal itu hanya terpenuhi dengan keutuhan barang.
Jumhur ulama membolehkan borg dengan barang yang tidak utuh atau sebagiannya asalkan sah diperjualbelikan.

ü  Borg yang berkaitan dengan benda lain
Ulama Hanafiyah berpendapat, tidak sah jika borg berkaitan dengan benda lain, seperti borg buah yang masih dipohon, sedangkan pohonnya tidak dijadikan borg.

ü  Gadai hutang
Para ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa utang tidak boleh dijadikan borg sebab tidak termasuk harta yang tampak.

ü  Gadai barang yang didagangkan atau dipinjam
Para ulama imam madzhab sepakat bahwa barang yang didagangkan atau sedang dipinjam boleh dijadikan borg.

ü  Menggadaikan barang pinjaman
Para imam madzhab membolehkan untuk menggadaikan barang pinjaman atas seizin pemiliknya.

ü  Gadai tirkah (harta peninggalan jenazah)



Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan gadai dengan tirkah jika jenazah telah terbebas dari hutang.

Jadi syarat-syarat rahn sebagai berikut:
v  Pihak yang menggadaikan (Rahin) dan pihak yang menerima gadai (Murtahin) cakap hukum serta sama-sama ikhlas.
v  Pihak yang menggadaikan (Rahin) mempunyai kemampuan untuk menggemblikan pinjaman.
v  Barang yang digadaikan (Marhun) benar-benar milik Rahin dan bebas dari ikatan atau syarat apapun.
v  Jumlah hutang (Marhun Bih) disebutkan dengan jelas.

E.      Masalah dalam Rahn
Pak wisnu memiliki sawah seluas 1 hektar, pada suatu saat Ia memerlukan biaya untuk pernikahan anaknya, lalu Ia menggadaikan sawah tersebut kepada pak budi selama 1 tahun. Sawah itu di garap/di kelola oleh pak budi selama 6 bulan dan setelah itu pak budi pergi keluar kota dan sawah itu di biarkan begitu, tidak ada yang mengelola.
Ø  Bagaimana hukum atas masalah tersebut?
Ø  Bolehkah sawah yang sudah di gadai tersebut di kelola lagi oleh pemiliknya (pak wisnu)?

Jawab:
            Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa rahn berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang menggadaikan sejumlah barang tertentu kemudian ia melunasi sebagiannya, maka keseluruhan barang gadai masih tetap di tangan penerima gadai sampai orang yang menggadaikan itu melunasi utangnya. Alasannya, bahwa barang tersebut tertahan oleh sesuatu hak dan oleh karena itu tertahan pula oleh setiap bagian dari hak tersebut. Namun, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa barang yang masih tetap berada di tangan murtahin, dalam kasus di atas hanya sebagiannya saja sebesar hak yang belum dilunasi oleh rahin. Golongan ini mengemukakan alasan bahwa keseluruhan barang gadai itu hanya tertahan oeh keseluruhan hak. Karena itu, sebagian barang tersebut tertahan oleh sebagian hak itu dan ini serupa dengan tanggungan.
Pemanfaaatan barang gadai merupakan tuntutan syara’ dalam memelihara keutuhan fisik dan kemanfaatannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalkan kendaraan bermotor kalau tidak di pakai dan di biarkan untuk tidak di hidupkan akan maka dapat membuat mesinnya berkarat dan akhirnya menjadi rusak, begitu juga dengan tanah, sawah, rumah dan sebagainya. Berdasarkan logika hukum dimaksud, maka pemanfaatan barang gadai bertujuan untuk memelihara keutuhan nilai dari barang gadai.
Mayoritas ulama melarang dan/atau tidak membolehkan jenis pemanfaatan dalam transaksi gadai. Lain halnya ulama Syafi’iyah yang membolehkan pemanfaatan barang gadai sepanjang pemanfaatanya itu tidak membahayakan marhun. Selain itu, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin selaku pihak yang mengadakan barang, ia tidak boleh memanfaatkan barang gadai (marhun), baik mengendarai, memakai pakaian, menempati rumah atau mengelola tanah yang menjadi barang gadaian. Mereka melarang pemanfaatan seperti ini karena hak menahan marhun berada pada pihak murtahin sehingga ia memiliki hak yang tetap sampai akad rahn itu berakhir. Jadi, ketika rahin memanfaatkan marhun tanpa seizin murtahin berarti ia telah melawan hukum. Apabila hal dimaksud, dilakukan oleh rahin yang kemudian terjadi kerusakan pada barang gadai, maka rahin yang harus bertanggungjawab atas kerusakannya sementara kewajiban membayar utang tetap berada pada rahin walaupaun barang rusak atau hilang.
Kalau marhun termasuk barang yang harus secara terus-menerus dimanfaatkan, sedangkan murtahin tidak sempat memanfaatkan seperti kendaraan sepeda motor, mobil dan mesin jahit atau alat-alat produksi lainnya, maka murtahin dapat menyewakan kepada pihak yang dapat memanfaatkan. Hasil atau upah yang diperoleh dari barang tersebut menjadi hak rahin. Sebab, hasil dan manfaat dari barang gadai berdasarkan hadis Nabi adalah hak rahin.
Ulama Hanabilah mempunyai pendapat yang sama dengan ulama Hanafiyah, yaitu menelantarkan barang gadai bertentangan dengan syara’. Karena itu, rahin dan murtahin harus melakukan kesepakatan-kesepakatan dalam pemanfaaatan marhun seperti mengendarai, menempati rumah, mengambil air susu binatang ternak dan lain sebagainya yang masih dalam perjanjian tanpa seizin murtahin. Ketika rahin dan murtahin tidak mencapai kesepakatan dalam penentuan batas-batas kebolehan pemafaatan, maka barang gadai harus dibiarkan karena merupakan barang yang tertahan dari pemanfaatan sampai rahin melunasi utangnya.
Ulama Malikiyah mempunyai pendapat tentang palarangan pemanfaatan barang gadai oleh rahin, bahkan walaupun pihak murtahin mengizinkan pemanfaatan barang gadaian maka status hukumnya tetap dilarang. Apabila murtahin memberi izin pada rahin untuk memanfaatkan barang gadai makamenurut mereka akad gadai menjadi batal karena tidak terpenuhi kondisi penahanan terhadap barang gadai. Untuk memanfaatkan barang gadai menurut ulama Malikiyah bisa dilakukan oleh murtahin sebagai wakil dari rahn. Menurut Ulama Syafi’iyah rahin boleh memanfaatkan marhun sepanjang tidak mengurangi atau merusak nilai materiil dari barang gadai, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah, memakai baju dan lain sebagainya dari harta barang gadai.
Jenis pemanfaatan barang gadai yang dilarang menurut mereka adalah pemanfaatan yang mengurangi nilai barang gadai, seperti membangun gedung atau mengolah tanah yang masih dalam status gadai. Namun, pemanfaatan jenis ini pun menurut mereka dibolehkan apabila rahin mengizinkan. Bagi ulama Syafi’iyah, bila barang yang di gadaikan itu sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan rahin seperti rumah atau kendaraan yang setiap hari dipakai, maka rahin boleh memanfaatkan barang-barang tersebut sampai kebutuhannya terpenuhi.

Jadi hukum dari masalah tersebut rahn boleh, karena sawah itu sudah menjadi hak pak budi untuk dikelola selama 1 tahun. Jadi mau pak budi kelola atau tidak itu tidak ada masalah karena sawah itu tidak di kelola pun tidak akan rusak dan harganya tidak akan turun.
Sawah itu bisa dikelola oleh pak wisnu meskipun rahn belum berakhir asalkan pak budi mengizinkan.



Referensi.

Zainuddin. 2008.Hukum Gadai Syari’ah.Jakarta:Sinar Grafika.

Perbankan Syari’ah Prespektif praktisi  ( muamalat institute).

Hendi Suhendi.2002.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Hendi Suhendi.2010.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo persada.

Ascarya.2011.Akad&Produk Bank Syari’ah.Jakarta:PT Grafindo Persada.
Mardani.2011.Ayat-ayat dan hadis ekonomi syari’ah.Jakarta:Rajawali     pers.

Muhammad syafi’i antonio.2001.Bank Syari’ah.Jakarta:Gema Insani

Rachmat syafei.2001.Fiqih Muamalah.Bandung:CV Pustaka Setia.
































Read more...