Pages

Banner 468 x 60px

Jumat, 07 Desember 2012

0 komentar
Jual beli secara kredit



1.    Menurut saya hukum jual beli secara kredit adalah boleh.
Penjelasannya: jual beli secara kredit yaitu jual beli yang pembayarannya tertunda, bisa di bayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus, bisa di bayar dengan cicilan, yakni di bayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu, sesuai kesepakatan penjual dan pembeli. Jual beli secara kredit adalah salah satu bentuk dari jual beli nasi’ah. Syari’at yang suci membolehkan jual beli nasi’ah. Para ulama pun sepakat tentang di bolehkannya jual beli nasi’ah. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim serta para perawi lainnya.
ﺃﻥﺭﺳﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺍﺷﺗﺭﻯ ﻣﻥ ﻳﻬﻭﺩﻱ ﻃﻌﺎﻣ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻝﻭﺭﻫﻧﻪﺩﺭﻋﺎﻣﻥﺣﺩﻳﺩ
“bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari orang yahudi dengan pembayaran tertunda, beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan”. Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga di bolehkan jual beli secara kredit. Karena jual beli secara kredit tidak lain adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, hanya pembayarannya yang di cicil selama beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu.
Alasan di bolehkannya jual beli sacara kredit adalah: keumuman dalil yang menetapkan di bolehkannya jual beli semacam ini. Allah SWT berfirman :       
ﻳﺄﻳﻬﺎﺍﻟﺫﻳﻥﺀﺍﻣﻧﻭﺍﺇﺫ ﺍﺗﺩﺍﻳﻧﺗﻡﺑﺩﻳﻥﺇﻟﻰﺃﺟﻝﻣﺳﻣﻰﻓﺎﻛﺗﺑﻭﻩ...
hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah:282).
Ayat tersebut secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda, yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hukum menjual barang yang berada dalam kepemilikan namun dengan penyerahan tertunda, yakni jual beli as-salam. Karena dalam jual beli as-salam harga juga bisa di kurangi, karena penyerahan tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh di lebihkan harganya karena pembayaran yang tertunda. Namun apabila pembeli terlambat membayar cicilan kredit, tidak di bolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun penjual berhak menuntut pembayaran sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu termasuk dalam akad kreditnya.
penjelasan Majelis Ulama Tentang Hukum Jual Beli Kredit:
a)    Dibolehkan tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka pilih, kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.
b)    Menurut ajaran syariat, ketika proses jual beli ini terjadi, tidak boleh menegaskan keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada keterkaitan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati prosentase keuntungan tertentu, atau tergantung dengan jumlah penambahan waktu saja.
c)    Kalau pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh memaksanya membayar tambahan lain dari jumlah hutangnya, dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun tidak. Karena itu adalah bentuk riba yang diharamkan.
d)    Orang yang berhutang adalah  mampu membayar, dia tidak boleh memperlambat pembayaran hutangnnya yang sudah tiba waktu cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi persyaratan adanya kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keterlambatan pembayaran.
e)    Menurut syariat seorang penjual dibolehkan meminta penyegeraan pembayaran cicilan dari waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat tersebut ketika terjadi transaksi.
f)     Penjual tidak boleh menyimpan barang milik pembeli setelah terjadi proses jual beli kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang  itu digadaikan ditempatnya sebagai jaminan hingga ia melunasi hutang cicilannya.


2.    Rafael dan Ryco melakukan syarikah al-inan, yaitu persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga di lakukan mereka bersama untuk kemudian keuntungan juga di bagi pula bersama. Syarikah ini di bolehkan berdasarkan ijma’.
Dalam kerjasama ini mereka harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut ini:
a.    Rukun pertama, dua transaktor.
Keduanya harus memiliki kelayakan (kompetensi), yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan
b.    Rukun kedua, objek transaksi.
Yang meliputi modal, usaha dan keuntungan.
            Pertama: modal, disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:
·         Harus diketahui jumlahnya.
·         Modal harus riil.
·         Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba.
Kedua: usaha
Adapun yang berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka.
Ketiga: keuntungan.
Keuntungan disyaratkan sebagai berikut:
·         Harus di ketahui jumlahnya
·         Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosentasi tertentu.
c.    Rukun ketiga:  pelafazhan akad (perjanjian)
Akad dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan.

Rafael dan Ryco menggunakan prinsip jual beli salam, yang berarti pembelian barang yang di serahkan di kemudian hari, sedangkan pembayarannya di lakukan di muka.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rsulullah SAW. Bersabda:
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻰ ﺷﻰ ﻔﻓﻲ ﻛﻳﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻥ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍﻟﻰ ﺍﺟﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
Supaya bisnis mereka sah menurut hukum islam, mereka harus memenuhi syarat
:
a)    Modal transaksi, syarat yang harus dipenuhi:
·         Modal harus diketahui.
Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya.
·         Penerimaan pembayaran.
Banyak ulama yang mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak.
b)    Al-muslam fiihi
Diantaranya:
·         Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
·         Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut.
·         Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari.
·         Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
·         Bolehnya menetukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
·         Tempat penyerahan.
Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang di sepakati dimana barang harus di serahkan.
·      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Tapi bila barang tersebut di ganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya.


Referensi:
Muhammad syafi’i antonio, Bank Islam Syari’ah, jakarta: Gema Insani, 2011.
Shalah ash-Shawi & Abdullah al-mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, jakarta: Darul Haq, 2004.


0 komentar:

Posting Komentar