Jual beli secara kredit
1.
Menurut
saya hukum jual beli secara kredit adalah boleh.
Penjelasannya:
jual beli secara kredit yaitu jual beli yang pembayarannya tertunda, bisa di
bayar belakangan dengan sekali bayar sekaligus, bisa di bayar dengan cicilan,
yakni di bayar dengan jumlah tertentu pada waktu-waktu tertentu, sesuai
kesepakatan penjual dan pembeli. Jual beli secara kredit adalah salah satu
bentuk dari jual beli nasi’ah. Syari’at yang suci membolehkan jual beli
nasi’ah. Para ulama pun sepakat tentang di bolehkannya jual beli nasi’ah.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim serta para perawi lainnya.
ﺃﻥﺭﺳﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺍﺷﺗﺭﻯ ﻣﻥ ﻳﻬﻭﺩﻱ
ﻃﻌﺎﻣ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻝﻭﺭﻫﻧﻪﺩﺭﻋﺎﻣﻥﺣﺩﻳﺩ
“bahwa Rasulullah pernah
membeli makanan dari orang yahudi dengan pembayaran tertunda, beliau memberikan
baju besinya sebagai jaminan”. Dibolehkannya jual beli nasi’ah berarti juga
di bolehkan jual beli secara kredit. Karena jual beli secara kredit tidak lain
adalah jual beli dengan pembayaran tertunda, hanya pembayarannya yang di cicil
selama beberapa kali dalam waktu-waktu tertentu.
Alasan
di bolehkannya jual beli sacara kredit adalah: keumuman dalil yang menetapkan
di bolehkannya jual beli semacam ini. Allah SWT berfirman :
ﻳﺄﻳﻬﺎﺍﻟﺫﻳﻥﺀﺍﻣﻧﻭﺍﺇﺫ
ﺍﺗﺩﺍﻳﻧﺗﻡﺑﺩﻳﻥﺇﻟﻰﺃﺟﻝﻣﺳﻣﻰﻓﺎﻛﺗﺑﻭﻩ...
“hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang di
tentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah:282).
Ayat
tersebut secara umum juga meliputi penjualan barang dengan pembayaran tertunda,
yakni jual beli nasi’ah. Ayat ini juga meliputi hukum menjual barang yang
berada dalam kepemilikan namun dengan penyerahan tertunda, yakni jual beli
as-salam. Karena dalam jual beli as-salam harga juga bisa di kurangi, karena
penyerahan tertunda, maka dalam jual beli nasi’ah juga boleh di lebihkan
harganya karena pembayaran yang tertunda. Namun apabila pembeli terlambat membayar
cicilan kredit, tidak di bolehkan bagi penjual untuk memberikan denda keuangan
sebagai kompensasi keterlambatannya. Namun penjual berhak menuntut pembayaran
sisa cicilan ketika terjadi ketidakmampuan membayar, bila itu termasuk dalam
akad kreditnya.
penjelasan
Majelis Ulama Tentang Hukum Jual Beli Kredit:
a)
Dibolehkan
tambahan harga kredit dari harga kontan. Juga dibolehkan menyebutkan harga
kontan dengan harga kreditnya disertai dengan waktu-waktu penyicilannya. Jual
beli dianggap tidak sah sebelum kedua transaktornya menegaskan mana yang mereka
pilih, kontan atau kredit. Kalau jual beli itu dilakukan dengan keragu-raguan
antara kontan dengan kredit, misalnya belum terjadi kesepakatan antara kedua
belah pihak, maka jual beli itu tidak sah secara syar’i.
b)
Menurut
ajaran syariat, ketika proses jual beli ini terjadi, tidak boleh menegaskan
keuntungan kredit secara rinci secara terpisah dari harga kontan, sehingga ada
keterkaitan dengan jangka waktu. Baik kedua pelaku jual beli itu menyepakati
prosentase keuntungan tertentu, atau tergantung dengan jumlah penambahan waktu
saja.
c)
Kalau
pembeli sekaligus orang yang berhutang terlambat membayar cicilannya sesuai
dengan waktu yang ditentukan, tidak boleh memaksanya membayar tambahan lain
dari jumlah hutangnya, dengan persyaratan yang disebut dalam akadnya ataupun
tidak. Karena itu adalah bentuk riba yang diharamkan.
d)
Orang
yang berhutang adalah mampu membayar,
dia tidak boleh memperlambat pembayaran hutangnnya yang sudah tiba waktu
cicilannya. Meski demikian, juga tidak boleh memberi persyaratan adanya
kompensasi atau sanksi denda bila terjadi keterlambatan pembayaran.
e)
Menurut
syariat seorang penjual dibolehkan meminta penyegeraan pembayaran cicilan dari
waktu yang ditentukan, ketika orang yang berhutang pernah terlambat dalam
membayar cicilan sebelumnya, selama orang yang berhutang itu rela dengan syarat
tersebut ketika terjadi transaksi.
f)
Penjual
tidak boleh menyimpan barang milik pembeli setelah terjadi proses jual beli
kredit ini. Namun ia bisa meminta syarat untuk sementara barang itu digadaikan ditempatnya sebagai jaminan
hingga ia melunasi hutang cicilannya.
2. Rafael dan Ryco
melakukan syarikah al-inan, yaitu persekutuan dalam modal, usaha dan
keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang
mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama jadi modal berasal dari
mereka semua, usaha juga di lakukan mereka bersama untuk kemudian keuntungan
juga di bagi pula bersama. Syarikah ini di bolehkan berdasarkan ijma’.
Dalam kerjasama ini
mereka harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut ini:
a.
Rukun
pertama, dua transaktor.
Keduanya harus memiliki kelayakan
(kompetensi), yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan
b.
Rukun
kedua, objek transaksi.
Yang meliputi modal, usaha dan keuntungan.
Pertama: modal, disyaratkan dalam
modal tersebut beberapa hal berikut:
·
Harus
diketahui jumlahnya.
·
Modal
harus riil.
·
Tidak
merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba.
Kedua: usaha
Adapun yang berhubungan dengan usaha, masing-masing
pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan
menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka.
Ketiga: keuntungan.
Keuntungan disyaratkan sebagai berikut:
·
Harus
di ketahui jumlahnya
·
Harus
merupakan sejumlah keuntungan dengan prosentasi tertentu.
c.
Rukun
ketiga: pelafazhan akad (perjanjian)
Akad dapat terlaksana dengan adanya indikasi
ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan.
Rafael dan Ryco menggunakan prinsip jual beli
salam, yang berarti pembelian barang yang di serahkan di kemudian hari,
sedangkan pembayarannya di lakukan di muka.
Dari Ibnu Abbas bahwa Rsulullah SAW. Bersabda:
ﻣﻥ
ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻰ ﺷﻰ ﻔﻓﻲ ﻛﻳﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻥ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍﻟﻰ ﺍﺟﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang
melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
Supaya bisnis mereka sah menurut hukum islam,
mereka harus memenuhi syarat
:
a)
Modal
transaksi, syarat yang harus dipenuhi:
·
Modal
harus diketahui.
Barang yang akan disuplai harus diketahui
jenis, kualitas dan jumlahnya.
·
Penerimaan
pembayaran.
Banyak ulama yang mengharuskan pembayaran
salam dilakukan di tempat kontrak.
b)
Al-muslam
fiihi
Diantaranya:
·
Harus
spesifik dan dapat diakui sebagai utang.
·
Harus
bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya
pengetahuan tentang macam barang tersebut.
·
Penyerahan
barang di lakukan di kemudian hari.
·
Kebanyakan
ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian,
tetapi mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
·
Bolehnya
menetukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
·
Tempat
penyerahan.
Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk
tempat yang di sepakati dimana barang harus di serahkan.
·
Penggantian
muslam fiihi dengan barang lain.
Para ulama melarang penggantian muslam fiihi
dengan barang lainnya. Tapi bila barang tersebut di ganti dengan barang yang
memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para
ulama membolehkannya.
Referensi:
Muhammad
syafi’i antonio, Bank Islam Syari’ah, jakarta:
Gema Insani, 2011.
Shalah
ash-Shawi & Abdullah al-mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, jakarta:
Darul Haq, 2004.