RAHN (GADAI)
Yuliana 1179648
Salah satu cara untuk mempercepat
pinjam meminjam adalah dengan memberikan suatu jaminan. Dengan adanya jaminan
tersebut si pemberi pinjaman tidak takut karena keingkaran si peminjam. Apabila
si peminjam ingkar maka jaminan tersebut menjadi alat pelunasan utang.
Rahn adalah akad gadai, dimana
suatu pihak menyerahkan barang tertentu miliknya kepada pihak lain, dalam
rangka memperoleh pinjaman uang yang diperlukannya.
Rahn juga termasuk akad yang
bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang
dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirat.
Para ulama sepakat bahwa Rahn
dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua
pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah : ﻓﺭﻫﺎﻥ
ﻣﻗﺑﻭﺿﺔ
pada
ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam
lanjutan ayat tersebut dinyatakan:
ﻓﺎﻥﺃﻣﻥ
ﺑﻌﺿﻛﻡ ﺑﻌﺿﺎﻓﻟﻳﺅﺩﺍﻟﺫﻯﺍﺅﺗﻣﻥﺃﻣﺎﻧﺗﻪ ...
ﺍﻟﺑﻗﺭﺓ :٢٨٣
Artinya:
“akan
tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya)”.
(QS. Al-Baqarah : 283)
Selain itu, perintah untuk
memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika
tidak ada penulis, padahal hukum utang sendiri tidaklah wajib, begitu juga
penggantinya, yaitu barang jaminan.
A.
Definisi
Rahn
Rahn adalah menahan salah satu
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.secara
sederhana rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
Rahn adalah akad yang objeknya
menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan
sempurna.
Rahn adalah menjadikan suatu
benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama ada dua
kemungkinan, untuk mengembaliakan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
Gadai adalah suatu barang yang
dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.
Rahn adalah pelimpahan kekuasaan
oleh satu pihak kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dalam
pemberi amanah.
Rahn berarti penahanan terhadap suatu barang
dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Definisi Rahn menurut Ulama
Fiqih:
v Menurut ulama Syafi’iyah:
Rahn adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan
utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.
v Menurut ulama hanabilah:
Rahn adalah harta yang dijadikan jaminan utang
sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak
mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.
Jumhur ulama sepakat bahwa definisi Rahn adalah
menjadikan nilai jaminan sebagai ganti hutang tatkala tidak bisa melunasinya.
Menurut saya, Rahn adalah akad utang piutang dengan
menyerahkan barang berharga sebagai jaminan atas peminjaman uang.
B.
Dasar
Hukum Rahn
Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Quran dan sunah.
Ø Al-Quran
ﻭﺍﻥﻛﻧﺗﻡﻋﻟﻰﺳﻓﺭﻭﻟﻡ
ﺗﺟﺩﻭﺍﻛﺍﺗﺑﺍﻓﺭﻫﺍﻥﻣﻗﺑﻭﺿﺔ
Artinya :
“apabila
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang”.
(QS. Al-Baqarah: 283).
Fungsi barang gadai
(marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak,
sehingga penerima gadai meyakini bahwa pemberi gadai beriktikad baik untuk
mengembalikan pinjamannya dengan cara menggadaikan barang atau benda yang di
milikinya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.
Ø As-sunah
ﻋﻥﻋﺍﺋﺷﺔﺯﺿﻲﷲﻋﻧﻬﺍﺃﻥﺍﻟﻧﺑﻲﺻﻟﻰﷲﻋﻟﻳﻪﻭﺴﻟﻡﺍﺷﺗﺭﻯﻃﻌﺍﻣﺍﻣﻥﻳﻬﻭﺩﻱﺇﻟﻰﺃﺟﻝﻭﺭﻫﻧﻪﺩﺭﻋﺍﻣﻥﺣﺩﻳﺩ
“Dari Aisyah
Radhiyallahu Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membeli
bahan makanan dari seorang
yahudi dan beliau menggadaikan baju
perang dari besi”. (HR Bukhari – Muslim).
Dari hadits diatas dapat
disimpulkan bahwa diperbolehkannya gadai berdasarkan ketetapan di dalam
Al-Kitab. Juga dapat dipahami bahwa agama islam tidak membedakan antara orang
muslim dan non muslim dalam bidang muamalah.
C.
Rukun Rahn:
Rahn memiliki empat unsur, yaitu Rahin (orang yang
memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan) dan
al-marhun nuh (utang).
Menurut ulama Hanafiyah rukun Rahn adalah ijab dan
qabul dari rahin dan al-murtahin, sebagaimana pada akad yang lain. Akan tetapi,
akad dalam Rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun
menurut ulama selain Hanafiyah, rukun Rahn adalah shighat, aqid (orang yang
akad), marhun dan marhun bih.
Jadi
rukun Rahn yaitu:
a)
Pihak
yang menggadaikan (Rahin)
b)
Pihak
yang menerima gadai (Murtahin)
c)
Barang
yang digadaikan (Marhun)
d)
Hutang/Pinjaman
(Marhun Bih)
e)
Sighot
(Ijab-Qabul)
D.
Syarat-syarat
Rahn:
Dalam Rahn disyaratkan beberapa syarat berikut:
a.
Persyaratan
Aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria
al-ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk
jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz.
b.
Syarat
Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam Rahn
tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.
Menurut para ulama syarat-syarat Rahn, yaitu:
Ø Syarat Rahn menurut Ulama
Syafi’iyah, ada tiga:
a.
Syarat
sahih, mensyaratkan agar murtahin cpat membayar sehingga jaminan tidak disita.
b.
Mensyaratkan
sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan
jaminannya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi akadnya
sah.
c.
Syarat
yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
Ø Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa syarat Rahn terbagi dua, yaitu:
1. Rahn fasid adalah Rahn
yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau
dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada
tanggung jawab rahin.
2. Rahn sahin adalah rahn
yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.
c. Syarat Marhun Bih (utang)
Ulama Hanafiyah memberikan
beberapa syarat Marhun Bih, yaitu:
Ø
Marhun
bih hendaklah barang yang wajib
diserahkan.
Ø
Marhun
bih memungkinkan dapat dibayarkan.
Ø
Hak
atas marhun bih harus jelas.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah
memberikan tiga syarat bagi marhun bih:
1) Berupa utang yang tetap
dan dapat dimanfaatkan.
2) Utang harus lazim pada
waktu akad.
3) Utang harus jelas dan
diketahui oleh rahin dan murtahin.
d.
syarat
marhun
ulama
Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
1)
dapat
diperjual belikan.
2)
Bermanfaat.
3)
Jelas.
4)
Milik
rahin.
5)
Bisa
diserahkan.
6)
Tidak
bersatu dengan harta lain.
7)
Dipegang
(dikuasai) oleh rahin.
8)
Harta
yang tetap atau dapat dipindahkan.
e.
Syarat
kesempurnaan rahn (Memegang Barang)
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa memegang marhun adalah syarat kesempurnaan, tetapi
bukan syarat sah atau lazim. Menurut ulama Malikiyah, akad dipandang lazim
dengan adanya ijab dan qabul. Akan tetapi, murtahin harus meminta kepada rahin
barang yang digadaikan, jika tidak
memintanya atau merelakan borg di tangan rahin, rahn menjadi batal.
f.
Beberapa
Hal yang Berkaitan dengan Syarat Rahn
Beberapa
hal yang berkaitan dengan syarat rahn, antara lain berikut:
ü Borg harus utuh
Ulama
Hanafiya berpendapat bahwa borg harus utuh tidak boleh bercerai-berai. Diantar
alasannya, adalah rahn harus tetap berada di tangan orang yang telah memberikan
utang dan hal itu hanya terpenuhi dengan keutuhan barang.
Jumhur
ulama membolehkan borg dengan barang yang tidak utuh atau sebagiannya asalkan
sah diperjualbelikan.
ü Borg yang berkaitan
dengan benda lain
Ulama
Hanafiyah berpendapat, tidak sah jika borg berkaitan dengan benda lain, seperti
borg buah yang masih dipohon, sedangkan pohonnya tidak dijadikan borg.
ü Gadai hutang
Para
ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa utang tidak boleh dijadikan borg sebab
tidak termasuk harta yang tampak.
ü Gadai barang yang
didagangkan atau dipinjam
Para
ulama imam madzhab sepakat bahwa barang yang didagangkan atau sedang dipinjam
boleh dijadikan borg.
ü Menggadaikan barang
pinjaman
Para imam madzhab membolehkan untuk menggadaikan
barang pinjaman atas seizin pemiliknya.
ü Gadai tirkah (harta
peninggalan jenazah)
Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan
gadai dengan tirkah jika jenazah telah terbebas dari hutang.
Jadi syarat-syarat rahn sebagai berikut:
v Pihak yang menggadaikan
(Rahin) dan pihak yang menerima gadai (Murtahin) cakap hukum serta sama-sama
ikhlas.
v Pihak yang menggadaikan
(Rahin) mempunyai kemampuan untuk menggemblikan pinjaman.
v Barang yang digadaikan
(Marhun) benar-benar milik Rahin dan bebas dari ikatan atau syarat apapun.
v Jumlah hutang (Marhun
Bih) disebutkan dengan jelas.
E.
Masalah
dalam Rahn
Pak wisnu memiliki sawah seluas 1 hektar, pada suatu
saat Ia memerlukan biaya untuk pernikahan anaknya, lalu Ia menggadaikan sawah
tersebut kepada pak budi selama 1 tahun. Sawah itu di garap/di kelola oleh pak
budi selama 6 bulan dan setelah itu pak budi pergi keluar kota dan sawah itu di
biarkan begitu, tidak ada yang mengelola.
Ø Bagaimana hukum atas
masalah tersebut?
Ø Bolehkah sawah yang sudah
di gadai tersebut di kelola lagi oleh pemiliknya (pak wisnu)?
Jawab:
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa rahn berkaitan dengan
keseluruhan hak barang yang digadaikan dan bagian lainnya, yaitu jika seseorang
menggadaikan sejumlah barang tertentu kemudian ia melunasi sebagiannya, maka
keseluruhan barang gadai masih tetap di tangan penerima gadai sampai orang yang
menggadaikan itu melunasi utangnya. Alasannya, bahwa barang tersebut tertahan
oleh sesuatu hak dan oleh karena itu tertahan pula oleh setiap bagian dari hak
tersebut. Namun, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa barang yang masih tetap
berada di tangan murtahin, dalam kasus di atas hanya sebagiannya saja sebesar
hak yang belum dilunasi oleh rahin. Golongan ini mengemukakan alasan bahwa
keseluruhan barang gadai itu hanya tertahan oeh keseluruhan hak. Karena itu,
sebagian barang tersebut tertahan oleh sebagian hak itu dan ini serupa dengan
tanggungan.
Pemanfaaatan
barang gadai merupakan tuntutan syara’ dalam memelihara keutuhan fisik dan
kemanfaatannya. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalkan kendaraan bermotor
kalau tidak di pakai dan di biarkan untuk tidak di hidupkan akan maka dapat
membuat mesinnya berkarat dan akhirnya menjadi rusak, begitu juga dengan tanah,
sawah, rumah dan sebagainya. Berdasarkan logika hukum dimaksud, maka
pemanfaatan barang gadai bertujuan untuk memelihara keutuhan nilai dari barang
gadai.
Mayoritas
ulama melarang dan/atau tidak membolehkan jenis pemanfaatan dalam transaksi
gadai. Lain halnya ulama Syafi’iyah yang membolehkan pemanfaatan barang gadai
sepanjang pemanfaatanya itu tidak membahayakan marhun. Selain itu, ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rahin selaku pihak yang mengadakan barang, ia tidak
boleh memanfaatkan barang gadai (marhun), baik mengendarai, memakai pakaian,
menempati rumah atau mengelola tanah yang menjadi barang gadaian. Mereka
melarang pemanfaatan seperti ini karena hak menahan marhun berada pada pihak
murtahin sehingga ia memiliki hak yang tetap sampai akad rahn itu berakhir.
Jadi, ketika rahin memanfaatkan marhun tanpa seizin murtahin berarti ia telah
melawan hukum. Apabila hal dimaksud, dilakukan oleh rahin yang kemudian terjadi
kerusakan pada barang gadai, maka rahin yang harus bertanggungjawab atas
kerusakannya sementara kewajiban membayar utang tetap berada pada rahin
walaupaun barang rusak atau hilang.
Kalau
marhun termasuk barang yang harus secara terus-menerus dimanfaatkan, sedangkan
murtahin tidak sempat memanfaatkan seperti kendaraan sepeda motor, mobil dan
mesin jahit atau alat-alat produksi lainnya, maka murtahin dapat menyewakan
kepada pihak yang dapat memanfaatkan. Hasil atau upah yang diperoleh dari
barang tersebut menjadi hak rahin. Sebab, hasil dan manfaat dari barang gadai
berdasarkan hadis Nabi adalah hak rahin.
Ulama
Hanabilah mempunyai pendapat yang sama dengan ulama Hanafiyah, yaitu
menelantarkan barang gadai bertentangan dengan syara’. Karena itu, rahin dan
murtahin harus melakukan kesepakatan-kesepakatan dalam pemanfaaatan marhun
seperti mengendarai, menempati rumah, mengambil air susu binatang ternak dan
lain sebagainya yang masih dalam perjanjian tanpa seizin murtahin. Ketika rahin
dan murtahin tidak mencapai kesepakatan dalam penentuan batas-batas kebolehan
pemafaatan, maka barang gadai harus dibiarkan karena merupakan barang yang
tertahan dari pemanfaatan sampai rahin melunasi utangnya.
Ulama
Malikiyah mempunyai pendapat tentang palarangan pemanfaatan barang gadai oleh
rahin, bahkan walaupun pihak murtahin mengizinkan pemanfaatan barang gadaian
maka status hukumnya tetap dilarang. Apabila murtahin memberi izin pada rahin
untuk memanfaatkan barang gadai makamenurut mereka akad gadai menjadi batal
karena tidak terpenuhi kondisi penahanan terhadap barang gadai. Untuk
memanfaatkan barang gadai menurut ulama Malikiyah bisa dilakukan oleh murtahin
sebagai wakil dari rahn. Menurut Ulama Syafi’iyah rahin boleh memanfaatkan
marhun sepanjang tidak mengurangi atau merusak nilai materiil dari barang
gadai, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah, memakai baju dan lain
sebagainya dari harta barang gadai.
Jenis
pemanfaatan barang gadai yang dilarang menurut mereka adalah pemanfaatan yang
mengurangi nilai barang gadai, seperti membangun gedung atau mengolah tanah
yang masih dalam status gadai. Namun, pemanfaatan jenis ini pun menurut mereka
dibolehkan apabila rahin mengizinkan. Bagi ulama Syafi’iyah, bila barang yang
di gadaikan itu sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan rahin seperti rumah
atau kendaraan yang setiap hari dipakai, maka rahin boleh memanfaatkan
barang-barang tersebut sampai kebutuhannya terpenuhi.
Jadi hukum dari masalah tersebut rahn boleh, karena
sawah itu sudah menjadi hak pak budi untuk dikelola selama 1 tahun. Jadi mau
pak budi kelola atau tidak itu tidak ada masalah karena sawah itu tidak di
kelola pun tidak akan rusak dan harganya tidak akan turun.
Sawah itu bisa dikelola oleh pak wisnu meskipun rahn
belum berakhir asalkan pak budi mengizinkan.
Referensi.
Zainuddin. 2008.Hukum Gadai Syari’ah.Jakarta:Sinar
Grafika.
Perbankan Syari’ah Prespektif praktisi ( muamalat institute).
Hendi Suhendi.2002.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada.
Hendi Suhendi.2010.Fiqh Muamalah.Jakarta:PT Raja
Grafindo persada.
Ascarya.2011.Akad&Produk
Bank Syari’ah.Jakarta:PT Grafindo Persada.
Mardani.2011.Ayat-ayat
dan hadis ekonomi syari’ah.Jakarta:Rajawali pers.
Muhammad syafi’i antonio.2001.Bank
Syari’ah.Jakarta:Gema Insani
Rachmat syafei.2001.Fiqih Muamalah.Bandung:CV
Pustaka Setia.
0 komentar:
Posting Komentar